“Petuah Sang Guru”
By: Adri Yasper, Tasikmalaya 2019
"Bla bla bla, kincir" dengan logat dan bahasa Sunda asli, pria setengah baya yang mengemudi mobil pick up membuka percakapan pagi itu, sebut saja Kang Otong (aku lupa tanya nama beliau). Entah bertanya atau memberi perrnyataan, aku tidak tahu, karena dia mengucapkannya dengan bahasa yang sama sekali tidak ku mengerti, kecuali kata kincir. Tujuan kami. "Apa kang?" aku pun menimpali. Sambil mengernyitkan kening, mencoba memahami dan mereka-reka maksud Kang Otong. "Bla bla bla banyak, kincir, banyak". Kali ini ada kemajuan, ada tambahan kata yang aku pahami, tapi tetap saja maksudnya tidak ku mengerti. Aku pun menyerah, "Maaf kang, aku tidak mengerti bahasa Sunda". Kang Otong tampaknya sedikit kecewa, sepertinya ada hal penting yang hendak beliau sampaikan, apa daya bahasa Indonesianya pun juga belepotan.
"Sabarahak jauh lagi kang? Dengan logat yang disunda sundakan, teman aku yang duduk dibelakang mencoba melanjutkan percakapan, walau kosa kata bahasa Sunda yang dia pahami tidak lebih dari hitungan jari. " Ampat kilo" dengan sedikit ragu-ragu, Kang Otong menjawab. Sekitar 15 menit pun berlalu, pemukiman warga sekitar pun telah menjauh, hanya ada kayu-kayu dengan tanjakan dan kelokannya.
Stir pick up putih itu nampak berputar elok ditangannya, terlihat tak seperti pikiran nya dipagi itu, kira ku. Kembali dia berkomentar, "bla bla bla bla" tak satupun kata yang kupahami, dan kali ini tak ku hiraukan. Singkat cerita- sebelum pembaca pun ikut tersesat, tempat tujuan kami sudah terlewat jauh dibelakang. Dan sesuai perkiraan, beliau tidak tahu kemana tujuan kami. Sebenarnya- sekitar setengah jam sebelum ini, sesampai di Cipatujah, kami langsung mengatakan kepada beliau, "Kita mau ke kincir kang". Dengan sigap beliau menjawab, "Oh, kincir" dengan gayanya yang meyakinkan, kamipun dengan lega menaiki pick up itu, berharap sesegera mungkin sampai di tujuan. Kincir.
Akhirnya, setelah bertanya ke penduduk yang kebetulan kami temui, ternyata tujuan kami tidak jauh dari jembatan Cipatujah, tempat kami berganti bus jadi pickup. Dan kamipun hampir saja memasuki daerah Garut. "Ah, apanya yang Ampat kilo" gumamku dalam hati. Itu lah cerita pertama kami Kerja Praktek (KP) di ciheras, PT. Lentera Bumi Nusantara.
Well, tapi disini teman-teman tidak akan menemukan cerita kedua, ketiga dst tentang "salah alamat". Cerita ini bukan tentang kumpulan ketersesatan ku selama diciheras. Juga bukan tentang hebat langit ciheras dengan penari langit, skydacer-nya atau malam pertama yang menyedihkan bagi pendatang baru, digoreng habis-habisan oleh pak RT dan koleganya. Oh ya, kami menyebut ketua angkatan KP dengan pak sebutan RT, hm, nilailah sendiri, kalau kalian sudah balik dari sana. Tapi cerita ini tentang "petuah sang guru"
Jl. Bubujung, Cipatujah, Ciheras, dibelakang rumah makan Ayu Susi. Teman-teman KP disini menyebutnya Cihuy, Ciheras University. Tempat bengkel bilah-bilah kayu dan dan generator turbin angin.
Tempat pemuda-pemuda tanggung, setiap pagi dan malam harinya selalu menyebut simulasi, simulasi dan simulasi. Tempat domba-domba diperlakukan istimewa, daun kelor dijadikan teh. Juga tempat ini adalah bengkel karakter pembangun kepercayaan, dan belajar mengapresiasi, yang setiap periodenya selalu dipadati mahasiswa dari penjuru Indonesia. Entah Kp atau sebatas kunjungan, yang jelas mereka punya motiv sendiri.
Pagi itu, di sesi diskusi. Beliau tampak dengan senyumnya, sumringah melihat banyaknya kami. Walaupun sudah beberapa hari disini, tapi baru kali ini kami berkesempatan mendengar "pitaruah" beliau. Ada banyak pertanyaan pagi itu, tapi ada beberapa hal yang menarik bagi aku. Salah seorang bertanya tentang perfeksionis, apakah sebuah kelebihan atau kekurangan. Seperti biasa sebelum menjawab beliau mengawali nya dengan senyum.
" Sebenarnya, sikap kita menilai diri kadang hanya karena asumsi-asumsi dan penilai subjektif orang lain kepada kita". Beliau pun memulai, dengan logat Minang yang sangat kental. "Saya punya teman, yang kalo melakukan sesuatu sangat lah rapi, pernah saya melipat sajadah dan sarung, setelah saya selesai melipatnya, dilipat lagi sama dia". Dengan gayanya, beliau melanjutkan.
"Lalu dalam hati saya bertanya-tanya, apakah dia disemua sisi seperti ini?. Setelah saya telusuri ternyata tidak juga, dalam pelajaran ternyata dia tidak rajin juga, kadang tidak mencatat" lanjut beliau. "Ternyata, perfeksionis yang selama ini kita kira hanya pada satu sisi saja, tidak pada sisi yang lain. Kadang kita terlanjur memberi label pada diri kita, yang padahal sifatnya hanya parsial saja. Jadi tidak usah kita mematok diri kita seperti ini, seperti itu, kita coba belajar jernih menilai diri". Tutup beliau."Ah, rasanya mengena sekali" gumamku.
Dilain kesempatan, aku juga sempat bertanya, tentang bagaimana beliau menilai kebahagiaan. Dengan senyum, beliau memulai, dan balik bertanya pada ku, "Apakah kamu tidak bahagia?". Ah, tentu saja tidak, aku tak hendak mencari kebahagiaan dari jawaban beliau, bagiku seorang motivator hanya akan mengatakan apa yang hendak didengar oleh audiens nya. Hal-hal ideal yang semua orang lain setuju. Aku hanya penasaran dengan defenisisnya, dengan pandangannya yang unik dan bisa diterima.
"Kebahagiaan, setiap orang dengan latar belakang yang berbeda, punya definisi kebahagiaan sendiri". Kali ini jawabannya sangat panjang, dia memulai dengan latar belakang agama nya, keluarga nya, cerita nya dinegri sakura. Sudah senang masa mudanya, yang pada intinya adalah beliau menemukan kebahagian pada sebuah pengabdian.
Satu kali pernah salah seorang teman curhat tentang kehidupannya, tentang target dan capaiannya. Dan lagi, bagi ku jawabannya sangat lah mengena. "Kita adalah orang-orang yang sangat minim apresiasi, seringkali setiap capaian-capaian kita tak dihargai, bahkan oleh diri kita pribadi. "Jadi belajar mengapresiasi setiap kerja keras kita, bahkan ketika itu hanya berhasil membaca 2 atau 3 halaman buku".
Walau kesempatan mendengar kan petuah beliau tidak datang setiap hari, tapi sungguh selalu ada bagian yang harus dicatat rapi dari petuah beliau. Dan bagiku, datang kesini adalah bagian dari rencana baik Tuhan, karena disini kita bisa memandang sisi lain yang selama ini mungkin luput dari perhatian kita. Singkatnya disini kita kembali meredefenisikan arti dari usaha usaha kita.
Sebenarnya aku ingin bercerita lebih banyak, tentang domba-domba, pantai, rumah pohon, turnamen volley, kincir-kincir disana yang kalo malam mereka sangat berisik sekali, seakan berebut bercerita, menina bobokan kami, tapi setelah ku pikir, sebaiknya kalian lebih baik merasakan sendiri, menemukan cerita-cerita sendiri dan mungkin saja cerita kalian akan lebih seru malah, tapi pokoknya sangat recommended buat teman-teman.
Komentar
Posting Komentar