Aku rindu, Nasi Kotak

By: Adri Yasper, Pasuruan 2017

Waw..keren, waw waw…keren  aww. Rasanya tepuk keren ala mas Angger itu baru kemaren, dan suara Aceh, Medan, Makasar, Ambon, Samarinda dan teman teman Jawa masih begitu jelas. Tidak terasa sudah 3 hari berlalu sejak nasi kotak tak jadi sarapan pagi. Eh, Btw masalah sarapan, saya punya cerita menarik. Gini nih sob ceritanya.

Pagi itu pendamping kami menanyakan ada yang alergi makanan, ya sudah. saya jawab Ayam. Eh, ayam? Serius ada yang alergi ayam? Sebenarnaya saya bukan alergi, hanya saja saya tidak suka. Keesokan harinya saya dapat nasi khusus. Weh keren kan? Ya iyalah, dari sekian ratus orang dari Indonesia saya dan beberapa orang teman dapat nasi khusus.

Awalnya deg-degan juga pas mau buka, berharapnya sih Rendang atau Dendeng. Eh, tapi sobat, pas dibuka ternyata isinya tidak sesuai ekspektasi, masa’ ayam diganti sama tahu, tempeh, apes.

Eh, btw saya mau cerita serius dikit nih, tentang Indonesia, mumpung lagi suasana 17-san, dan tentunya masih ada kaitannya dengan SPC 2017.Well, Check it out.

Tujuh puluh dua tahun sudah Indonesia merdeka. Tua? Jika ukurannya adalah Negara, tentu saja belum. Tapi, untuk bilangan yang sebegitu banyak, tentu Indonesia sudah cukup matang untuk mensejahterakan raknyatnya. Apalagi jika kita coba membandingkan dengan dengan negara tetangga, Singapura misalnya. Negara kecil di tepian timur pulau Sumatra ini merupakan 1 diantara negara-negara maju di dunia, walaupun mereka memproklamirkan dan menasbihkan diri sebagai negara berdaulat  jauh setelah bangsa Indonesia.

Oh, ada yang protes dengan perbandingan ini? Komparasi yang tidak adil? Begitukah? Tentu saja tidak, memang benar Singapura yang hanya berpenduduk seper-sekian persen penduduk Indonesia, tentu kita berpikir mudah bagi mereka untuk mensejahterakan rakyatnya, dan lainya halnya dengan dengan Indonesia yang merupakan Negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia. Oh men, kau tak adil membandingkan mereka.

Tunggu, tunggu sebentar. Jika kita terus mencari-cari alasan, mencari pembelaan dan pembenaran maka sebenarnya kita lah yang tidak adil.Lihat Indonesia, penduduknya bejibun, toh kita tak dibiarkan begitu saja dalam keadaan kekurangan, malah kau jika kau jujur akan ditemukan begitu banyak kelebihan. Istilah orang-orang sana, “bukan lautan tapi kolam susu, tongkat kayu jadi tanaman”. Lah, disingapura sana, air bersih aja harus disuling.

And, ternyata senioritas dalam bernegara bukanlah jaminan kesejahteraan raknyatnya. Adapun Indonesia, masih banyak cita-cita bangsa yang baru sebatas angan dan tertulis indah di pembukaan UUD.  Lalu apa penyebab yang menjadikan Indonesia masih belum mampu mensejahterakan rakyatnya?

Ada banyak factor dan sebab, tapi ada satu factor mendasar yang menjadi sorotan, yaitu masalah karakter manusianya, tidak istiqamah dengan janji, komitmen, identitas diri, mudah terpedaya, diobok-obok budaya asing, dan mudah terpengaruh. Sehingganya budaya konsumtif, ingin tampil seperti orang asing, bangga dengan produk asing menjadi marak dikalangan generasi muda.

Lah, apa hubungannya dengan SPC 2017?

Yup, Saya punya cerita tentang seseorang yang istiqamah di SPC 2017. Siapa? Saya? Uh, tentu saja bukan. Namanya Dian Khairanita Nasution (Sorry ya, saya tulis ini tanpa ijin, mohon dimaafkan), pastinya kalian bisa tebak asalnya dari mana? Yup, dari Sumatra Utara, Mandailing Natal. Dia Etoser wilayah Aceh. Lalu apa yang menarik dari beliau? Sst, sabar. Biarkan saya bercerita.

Dia adalah perempuan yang mudah dikenali, dengan hijab dan cadarnya. Dari sekian ratus perempuan, peserta SPC 2017 hanya dia yang memakai cadar. Kalian bisa bayangkan ngak sih, bagaimana perasaanya ketika pertama kali berinteraksi dengan teman-teman Etoser se-indonesia yang hanya dia sendiri yang pakai cadar. Sendiri. Teman teman juga bisa bayangkan ketika makan pagi bersama di lapangan yang dikawal oleh TNI, diperintahkan makan hanya dalam waktu 3 menit, bagi saya yang tanpa penutup mulut, ya ngak masalah. Tapi bagaimana dengan beliau? Harus susah payah menyingkap cadar, masukin makanan, trus tutup lagi. Wehh..

Lah, orang yang pake cadar kan emang gitu, wajarlah? Eh, pointnya bukan disana. Jika saat itu yang berada diposisinya adalah kamu, atau saya deh. Mungkin saya akan sedikit bernegoisasi dengan diri saya, “hanya 6 hari gak pake cadar, gak apa apa lah” atau “kali ini aja, pas makan pagi”. Toh Cuma 6 hari, gak dosa juga kan?. Sstt, dia gak begitu. Sekalipun, no excuse.  Sekali lagi deh kalian dibayangin,  sendirian, tanpa teman. Beratkan.

Andai sobat,generasi-generasi muda Indonesia punya sikap istiqamah yang seperti itu, andai mereka bangga dan PD dengan diri, ciri dan budaya sendiri. Atau bangga menggunakan produk negri, andai mereka melek dengan budaya sendiri, tak merasa ketinggalan jaman ketika tak seperti orang asing, andai mereka mampu menjaga identitas diri, mampu menjaga idealismenya pahlawan-pahlawan bangsa.
Andai sobat, para pemangku amanah yang duduk di kursi pemerintah mampu menjaga janji-janji mereka, mampu menjaga komitmen mereka sebagai wakil rakyat. Andai semua elemen istiqamah dengan peran-peran mereka, tentu cita-cita Indonesia tak hanya sebatas susunan kata indah yang masih menjadi angan-angan bangsa.

Cukup, Indonesia tak akan berubah dengan tulisan ini. Tapi, InsyaAllah Indonesia akan jaya dengan dengan memulai merubah karakter kita menjadi lebih baik. Salam rindu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Tebu; "Menebar Manfaat Sepanjang Hayat"

“Kenangan Denai”