Filosofi Tebu; "Menebar Manfaat Sepanjang Hayat"

By: Adri Yasper, Lawang 2018

Sekitar 6000 tahun SM, sebuah tanaman rumput istimewa yang dikenal manis datang ke Indonesia. Konon katanya, madu tanpa lebah ini berasal dari ujung barat Nusantara, Papua Nugini. Tebu, demikian masyarakat Nusantara menyebutnya. Tanaman sejuta manfaat, yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat di Nagari Lawang, Sumatra Barat.

Nagari yang terletak diatas bukit di tepian danau Maninjau ini telah lama menjadikan tebu sebagai jembatan hidup mereka. Terhitung sudah sejak zaman penjajahan Belanda mereka menjadikan tebu sebagai bahan utama untuk membuat gula merah, dengan bantuan kerbau dan alat penggiling, tebupun diperas kemudian  airnya dimasak, dan produk akhirnya adalah gula merah, atau ‘Saka’ sebutan familiar masyarakat setempat. Sedangkan ampas  dijemur dan selanjutnya digunakan sebagai bahan bakar, untuk proses memasak air tebu.

Demikian kondisi awal yang ditemui di lokasi penempatan KKN kami, Nagari Lawang. Tim kami beranggotakan sebanyak 26 orang dengan background ilmu yang berbeda mencoba melakukan ‘sesuatu’, mengabdi selama 40 hari, melakukan yang terbaik sebisa kami, memberikan ilmu dan melakukan perbaikan-perbaikan , agaknya begitu juga dengan ampas tebu, produk sampingan Saka yang hanya berakhir di sudut dapur dan pemenuh tungku pembakaran, tidak lebih.

Kalau kita menyisir setiap tepian jalan di Nagari lawang, maka mata kita akan dimanja oleh lambaian daun tebu, tak jarang juga kita temui ampas tebu yang sedang dijemur di badan jalan. Mansyarakat petani tebu biasanya menggunakan ampas ini sebagai bahan bakar ketika cuaca panas untuk memasak gula merah. Jika cuaca kurang bersahabat, ampas menjadi lembab dan mereka terpaksa menggunakan ban bekas sebagai bahan bakar. Demikianlah nasib ‘si ampas tebu’ dan kondisi yang harus dijalani masyarakat, apalagi curah hujan di Nagari Lawang cukup tinggi.

Sebagai seorang mahasiswa, tentu kita harus menyelasaikan permasalah ini. Berbekal ilmu yang ada dan sedikit pengalaman di labor kami mencoba mengedukasi masyarakat, bagaimana mengolah ampas tebu ini menjadi barang yang punya nilai guna lebih dan juga punya nilai ekonomis yang tinggi.

Menurut literatur yang ada, ampas tebu adalah salah satu sumber energi terbarukan dalam bentuk biomassa. Biomassa dari ampas tebu ini dapat dibentuk menjadi briket atau bahan bakar padat yang biasanya digunakan sebagai penggati batu bara. Dengan melimpahnya ketersediaan ampas tebu, maka ini merupakan sebuah potensi yang besar untuk mengembangkan briket dari ampas tebu di Nagari Lawang. Bahkan jika kita berpikir jauh, maka briket ampas tebu bisa menjadi komoditas utama di Nagari Lawang, bersanding dengan Gula Saka.

Kami memulai proses pengedukasian ini dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya pemanfaatan sumber daya alam yang ada, juga memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa begitu besar dan cerahnya prospek briket dari ampas tebu ini. Penyuluahan ini kami adakan di Aula Kantor Wali Nagari Lawang 3 Balai pada hari Senin tanggal 9 Juli. Kami mengundang masyarakat Nagari Lawang yang direkomendasikan oleh pihak nagari. Mereka yang diundang adalah petani tebu yang sudah memiliki mesin penggiling, kelompok tani beserta kepala-kepala jorong. 

Tapi ya, tak selamanya kenyataan itu berjalan sesuai dengan apa yang diharapakan, dari total 30 undangan yang disebar yang hadir hanya 16 orang saja. Kecewa memang, tapi disanalah kita belajar bahwa dalam bermasyarakat yang majemuk, tak hanya ada satu kepentingan, kita harus menimbang banyak hal, jauh berbeda dengan kondisi kampus, boleh dikatakan kepentingan mahasiswa masih sangat homogen.  

Penyuluhan ini sebetulnya berjalan sangat lancar dan adanya antusias yang tinggi dari masyarakat, banyaknya respon, dan pertanyaan masyarakat disesi diskusi menandakan program ini disambut dan diterima masyarakat dengan baik. Ada sebuah respon menarik dari salah seorang peserta yang hadir, bapak-bapak dengan stelan batik mengacungkan tangannya sambil berujar “ To Say Is Easy But To Practice Is Difficult” sontak kamipun tecengang dan sedikit kaget. Dengan logat dan gayanya yang khas tentu saja ini menjadi sebuah bahan tertawan bagi semua yang hadir.

Selanjutnya berselang beberapa hari kemudian, kami mengadakan pelatihan pembuatan Briket pada hari Selasa tanggal 31 Juli yang diadakan di Kantor Jorong Gajah Mati. Tapi kali ini lebih miris dan lebih mengecewakan, dari 32 undangan yang disebar ke masyarakat yang hadir hanya 5 orang saja. Entah kita hendak berkata apa, tapi begitulah kondisi masyarakatnya. 

Sebenarnya, tebu sendiri masih bisa diolah menjadi produk-produk lain yang tidak sedikit nilainya. Misalnya saja ampas tebu bisa digunakan sebagai campuran biogas agar hasil gas lebih banyak dan cepat diproduksi. Pembuatan biogas ini juga sempat disosialisasikan dan diadakan pelatihannya. Atau contoh lain misalnya ampas tebu dijadikan pupuk untuk menghidupkan tanah. 

Tidak hanya itu saja, tebu muda yang baru tumbuhpun bisa dimanfaatkan sebagai pakan kerbau, begitupun dengan daun yang muda, daun yang sudah menguning bisa dijadikan pupuk, bahan bakar, atau briket, batangnyapun bisa dimakan lansung, bahkan tetes tebu atau ‘ruok tebu’ begitu masyarakat menyebutnya yang merupakan produk sampingan dari pengolahan Gula Saka dapat diolah menjadi bioethanol yang nantinya dapat dijadikan bahan bakar untuk kendaraan. 
Begitulah hidup sebatang tebu yang setiap bagiannya memberikan guna, bahkan setelah menjadi ampaspun tidaklah habis manfaat yang ia berikan. Agaknya, begitu jugalah mestinya hidup kita, berbagi, memberi, berkontribusi. Apalagi dengan status mahasiswa yang kita sandang, tentulah makna bermanfaat dan berkontribusi itu harusnya lebih dalam kita resapi.

Tapi satu hal yang pasti, jika kita hanya memaknai hidup dari apa yang kita lihat, kita rasakan, maka alangkah singkatnya hidup kita, alangkah banyaknya waktu yang harus kita habiskan, padahal dihadapan kita ada petunjuk, ada pedoman hidup, bahkan untuk sebuah filosofi tebu, sudah jauh-jauh hari Rasulullah SAW mengatakan “manusia terbaik itu adalah yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya”. Atau “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dengan sia-sia. Maka cukuplah ayat ini menjadi penyemangat bagi kita untuk selalu berkontribusi.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Kenangan Denai”

Aku rindu, Nasi Kotak