“Coba Deh”

By : Adri Yasper Teknik Mesin Universitas Andalas 2015
….

Tapi,
Kini negeri ini berubah jadi negeri copet, maling dan rampok,
Bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu
Negeri penyogok dan koruptor,
Negeri yang banyak omong,
Penuh fitnah kotor
Begitu banyak pembohong
Tanpa malu mengaku berdemokrasi
Padahal dibenak mereka mutlak dominasi uang dan materi
Tukang dusta, jago intrik dan ingkar janji

Kini

Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan,
Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan tuhan

Kini

Negeri kita
penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting
Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila
kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta

……


Kami muak dan bosan

Muak dan bosan
Kami
Sudah lama
Kehilangan kepercayaan

Demikian potongan puisi karangan Taufiq Ismail, seorang budayawan dan seorang  aktivis angkatan  60-an yang peduli bangsa, dalam puisinya beliau menggambarkan begitu peliknya permasalah negri ini. Agaknya tak berlebihan jika dikatakan negri ini penuh dengan wong edan, juga rasa tak salah jika disebut negri penyokong para koruptor, dan banyak sebutan juga pernyataan negative lainnya yang disematkan pada negri kita dewasa ini, dan jika melihat fakta dilapangan, mungkin siapapun maklum dengan sebutan dan pernyataan tersebut, begitupun saya. Ya.. bukan  bermaksud merendahkan apalagi menjelekan bangsa sendiri, tapi memang begitulah adanya.

Melihat hal ini tentu beban yang mesti ditanggung oleh pemerintah begitu banyak, hampir semua sektor butuh perbaikan, dan pembaharuan. Tapi, cukupkah dengan hanya mengandalkan pemerintah saja? Bertopang pada aparat-aparat Negara, lalu rakyat berlepas diri dan bisa menuntut sesuka hati ? Kemudian para pemuda dan mahasiswa bisa berdemo seenaknya?  Bisa me-posting  status- status yang tidak bertanggung jawab ala remaja tanggung yang mengaku kekinian, melek politik, peduli bangsa dan berbagai dalih lainnya? Pastinya tidak, tentu semuanya harus  turut berkontribusi dan mengambil peran masing-masing.

Berbicara tentang peran dan mahasiswa, setidaknya kita sebagai pemuda penyandang status mahasiswa punya 3 peranan utama dalam memberikan sumbangsih untuk bangsa. Peranan yang menjadi pijakan kita dalam keturut-sertaan menyelesaikan masalah bangsa dan membangun bangsa ini menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan sejahtera dimasa mendatang. Peran-peran tersebut adalah sebagai Social Control, Iron Stock, dan Agent of Change. Ketiga peran inilah yang menjadi ranah bagi mahasiswa untuk berkontribusi untuk Indonesia.

Sebelum kita perjelas apa bentuk peran-peran tersebut,  mari kita urai terlebih dahulu tentang apa sebenarnya makna dari sebuah kontribusi. Karena dewasa ini, menurut hemat saya kata kontribusi sedikit mengalami degradasi dan penyempitan makna.  Seringkali seorang mahasiswa dan “aktivis sejati”  memahami arti sebuah kontribusi hanya sebatas  suatu perbuatan yang sifatnya jangka pendek, misalnya keturut sertaan dalam acara-acara sosial, terlibat dalam unjuk rasa, aktif di organisasi ini, itu dan hal lain yang semisal denganya. Sedangkan sisi lain dari sebuah kontribusi yang sifatnya jangka panjang dan lebih ke pematangan diri secara personal acap kali terabaikan, seperti kedisiplinan, kemandirian,  akademik atau sisi keilmuan maupun keterampilan di bidang masing-masing, dan ini merupakan penyakit yang seringkali menghinggapi para mahasiswa yang bergelar “aktivis sejati”.

Maka tak, jarang kita dengar pameo-pameo yang berkembang dikalangan mahasiswa seperti  “Aktivis kok cuciannya segudang”, “Aktivis kok kamarnya berantakan” atau “ Aktivis kok  IPK nya anjlok”. Harusnya, seorang kontributor adalah orang yang sudah selesai dengan diri pribdinya, yang mampu mengayomi dirinya dan mampu menyelesaikan masalah-masalah pribadinya. Bukanlah  mereka yang bermasalah dan berantakan secara personal.

Jadi, sisi lain dari kontribusi inilah  yang harus dipahami oleh pemuda dan mahasiswa. Bahwa kontribusi seorang mahasiswa  tidak hanya sebatas perbuatan-perbuatan social atau politik yang bisa dilakukan sekarang, tapi, kontribusi adalah sebuah proses, yang mungkin baru terwujud dimasa mendatang, mungkin ketika berumur 30, 40, atau malah lebih, tapi prosesnya  sudah harus dimulai dan  dipersiapkan dari sekarang. Misalnya, kondisi Indonesia yang sekarang ini kekurangan tenaga kerja berkualitas, sehingganya pemerintah harus menimpor tenaga kerja dari China, tentu bentuk kontribusinya seorang mahasiswa adalah dengan menguasai bidang ilmunya . Atau permasalah korupsi, yang akar permasalahanya terdapat pada karakter, dan tentunya karakter ini harus dibentuk dan dibiasakan sejak muda.

Sekarang mari kita perjelas 3 peran utama mahasiswa tersebut. Pertama, mahasiswa sebagai Social Control adalah posisi sebagai pengendali atau pengatur ketika adanya ketidakberesan dalam lingkup sosial, baik itu masyarakat maupun dalam bernegara. Peran ini juga berupa peran moral, yaitu sebagai penjaga nilai nilai baik yang berkembang dimasyarakat, ataupun sebagai pemberi contoh dan teladan bagi masyarakat tentang nilai-nilai baik tersebut. Tentunya hal ini tidak akan tercapai jika mahasiswa mempunyai kepribadian yang tidak baik.
Kedua, Iron Stock, Pemuda adalah penerus-penerus bangsa, dalam segala hal, tidak hanya dari pos-pos kepemimpinan dan ruang publik, tapi juga dari sisi keilmuan, yang dalam persiapannya tentu harus dimulai sejak di masa perkulihan dan berstatus sebagai mahasiswa. Maka, kurang tepat rasanya ketika kita hanya terfokus dalam pengembangan diri secara emosional dan sprintya tapi lupa dalam pengembangan intelektual.

Ketiga, Agent of Change. Mahasiswa harus mampu menjadi seorang promlem solver, mampu menjadi orang-orang pembaharu dan mampu mengatasi masalah-,masalah. Tentu hal ini hanya akan didapat melalui pengembangan diri dan peningkatan kecerdasan.

Satu point penting yang perlu saya tegaskan adalah, kontribusi nyata untuk membangaun negri, tidak melulu harus lansung berbentuk hal besar, kadang kontribusi besar tersebut dimulai dari hal-hal sederhana, hal-hal kecil. Misalnya mencuci piring selesai makan, tidak mencontek saat ujian, membuang sampah yang berserakan yang mungkin bukan sampah pribadi. Dengan hal-hal kecil seperti ini suatu saat nanti ketika menjadi pejabat dan pemangku amanah rakyat, kita menjadi pejabat yang bertanggung jawab, jujur dan penuh integritas.

Barangkali sebuah sajak yang terukir di atas nisan seorang tokoh agama di sebuah pemakaman tua, Webminster Abey, Inggris (1100 M) cocok menjadi penutup tulisan ini, dan kiranya patut kita renungkan .

“Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia. Seiring bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tak kunjung berubah. Maka cita-cita itu pun kupersempit. Lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku. Namun nampaknya, hasrat itu pun tiada hasilnya.

Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa kuputuskan untuk mengubah keluargaku. tapi celakanya mereka pun tak mau diubah.



Dan kini, sementara aku terbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari… ‘Andaikan yang pertama kuubah adalah diriku sendiri, maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan, mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi aku pun mampu memperbaiki negeriku. Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia!’”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Filosofi Tebu; "Menebar Manfaat Sepanjang Hayat"

“Kenangan Denai”

Aku rindu, Nasi Kotak